Hilangnya Unggah-ungguh di Era Generasi Z, Benar kah?
Hilangnya unggah-ungguh, atau sikap sopan santun dan etika, di era generasi Z sering kali menjadi topik hangat belakangan ini. Hal ini karena penggunaan media sosial dan teknologi digital yang semakin pesat mempengaruhi cara komunikasi generasi Z.
Interaksi yang lebih sering dilakukan melalui perangkat digital dibandingkan tatap muka dapat mengurangi kesempatan untuk mempraktikkan etika dan sopan santun tradisional.
Setiap generasi mengalami perubahan nilai dan norma sosial. Generasi Z cenderung lebih liberal dan memiliki pandangan yang berbeda tentang apa yang dianggap sopan atau tidak sopan dibandingkan generasi sebelumnya.
Pola asuh dan pendidikan juga memegang peranan penting. Perubahan dalam pola pengasuhan, di mana orang tua mungkin lebih sibuk atau lebih permisif, bisa mempengaruhi penanaman nilai-nilai sopan santun.
Budaya pop dan konten yang dikonsumsi melalui media massa dan media sosial juga berperan. Generasi Z terpapar berbagai macam budaya dan gaya komunikasi yang mungkin tidak selalu sejalan dengan norma unggah-ungguh tradisional.
Namun, penting untuk diingat bahwa generalisasi tentang hilangnya unggah-ungguh mungkin tidak sepenuhnya akurat. Banyak individu dari generasi Z yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Adaptasi dan evolusi nilai-nilai ini merupakan bagian dari dinamika sosial yang selalu berubah.
Unggah-ungguh adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada tata krama atau etika. Unggah-ungguh mencakup berbagai aspek perilaku dan sopan santun yang diharapkan dalam interaksi sosial, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam hubungan profesional. Tata krama ini bisa meliputi cara berbicara, sikap tubuh, cara berpakaian, hingga cara menghormati orang lain, terutama yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Dalam hal ini mayoritas orang Jawa menghormati orang lain selalu melihat atau memperhatikan keadaan, selalu berhati-hati dalam membawa diri. Sikap berhati-hati dan waspada bermaksud agar tingkah lakunya sesuai, pantas dan tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Unggah-ungguh atau tata krama dalam budaya Indonesia sangat beragam karena Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dengan adat dan tradisi yang berbeda.
Namun, ada beberapa nilai umum yang dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia:
• Sopan Santun dalam Berbicara: Menggunakan bahasa yang sopan dan halus, terutama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
• Sikap Hormat: Menunjukkan rasa hormat kepada orang tua, guru, pemimpin, dan tamu. Contohnya adalah dengan membungkukkan badan sedikit saat melewati orang yang lebih tua atau memberikan salam dengan tangan yang digenggam di depan dada.
• Keramahtamahan: Orang Indonesia dikenal sangat ramah dan suka menolong. Menyambut tamu dengan senyuman dan keramahan adalah hal yang umum.
• Keramahtamahan: Orang Indonesia dikenal sangat ramah dan suka menolong. Menyambut tamu dengan senyuman dan keramahan adalah hal yang umum.
• Gotong Royong: Semangat kebersamaan dan tolong-menolong, yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas sosial seperti kerja bakti, membangun rumah bersama, dan membantu tetangga yang membutuhkan.
• Berpakaian Sopan: Pakaian yang dikenakan biasanya sesuai dengan norma kesopanan yang berlaku di daerah tersebut. Misalnya, mengenakan pakaian yang menutup tubuh dengan baik.
• Menghormati Adat dan Tradisi: Mengikuti dan menghormati adat istiadat dan tradisi setempat dalam berbagai upacara dan kegiatan sosial.
• Menghindari Konflik Terbuka: Sebisa mungkin menghindari konflik terbuka dan lebih memilih untuk menyelesaikan masalah secara damai dan melalui musyawarah.
• Hormat pada Agama: Menghormati keyakinan dan praktik keagamaan orang lain, serta menunjukkan toleransi antar umat beragama.
Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan bahasa keluarga dan menggunakan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan ngoko (akrab) sebagai bentuk sikap keakraban, dan krama inggil (halus) sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi.
Tatanan dalam tingkat bahasa krama inilah merupakan suatu sarana ampuh untuk mencegah timbulnya konflik, sehingga tatanan ngoko-krama mempunyai fungsi yaitu untuk mengatur semua bentuk interaksi langsung di luar lingkungan keluarga inti dan lingkungan teman-teman akrab maupun orang yang tidak dikenal sekalipun. Tatanan krama ini menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi dan bentuk suatu pembicaraan.
Tingkatan unggah-ungguh adalah sistem tata krama atau sopan santun dalam budaya Jawa yang mengatur cara seseorang bersikap dan berbicara sesuai dengan situasi, kondisi, dan orang yang dihadapi.
Berikut adalah beberapa tingkatan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa:
• Ngoko: Bahasa yang digunakan dalam situasi informal, biasanya antara teman sebaya atau orang yang sudah akrab. Contoh: "Kowe mangan apa?"
• Krama Madya: Bahasa yang digunakan dalam situasi semi-formal, ketika berbicara dengan orang yang lebih tua tetapi tidak terlalu resmi. Contoh: "Panjenengan dhahar nopo?"
• Krama Inggil: Bahasa yang digunakan dalam situasi formal atau resmi, biasanya untuk menghormati orang yang lebih tua atau memiliki status sosial lebih tinggi. Contoh: "Panjenengan nedha punapa?
Setiap tingkatan memiliki kata dan ungkapan tersendiri yang mencerminkan rasa hormat dan sopan santun sesuai dengan konteksnya.
Terakhir, menjelah Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke 79 Republik Indonesia, generasi sekarang dan yang akan datang bukan berarti mslupakan unggah ungguh.
Benar sekali. Merdeka bukan berarti melupakan adat dan tata krama. Meskipun kita bebas, penting untuk tetap menghormati budaya, tradisi, dan etika yang ada dalam masyarakat. Merdeka memberikan kita kebebasan, tetapi kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang telah diwariskan.