Unggul Islami Enterpreneurship

Ketergantungan Akademisi Indonesia


Dr. Syarifuddin Jurdi, M.Si.
(Dosen Sosiologi Politik, UIN Alauddin Makassar)

Opini - mitraindonesia.id -- Perintis studi ilmu sosial Indonesia secara umum telah menempatkan obyek kajian masyarakat Indonesia sebagai suatu keniscayaan, banyak keunikan yang menjadi topik studi ilmu sosial di Indonesia, keunikan masyarakat, adat-istiadat dan tradisi sosialnya yang beragam, mulai dari pusat perkotaan hingga pelosok pedesaan dapat menjadi bahan kajian yang menarik. Namun demikian, rintisan pendahulu memerlukan langkah-langkah intelektual lanjutan untuk menghasilkan karya yang monumental agar ilmu sosial kita bisa terbebas dari ketergantungannya dari Barat.

Kemajuan dalam kajian ilmu sosial Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir menunjukkan upaya para akademisi untuk mewarnai perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa. Pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi 1998 sebagai momentum perubahan sosial politik bangsa yang krusial bagi masa depan demokrasi yang egalitarian. Bangunan awal pembentukan konstitusi merupakan landasan untuk memperkokoh demokrasi Pancasila yang memihak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan.

Kajian dan analisis perubahan sosial politik Indonesia pasca 1998 merupakan kombinasi antara peran-peran penting sarjana Indonesia sendiri dan para Indonesianis yang secara khusus mendedikasikan waktu mereka melakukan riset mengenai kecendrungan ilmu sosial Indonesia dan perubahan sosial politik yang terjadi. Sarjana Indonesia mulai mengalami tranfsormasi intelektual dengan melakukan kajian dan riset secara khusus pada perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakatnya, meski ketergantungan pada Barat masih tinggi. Setidaknya terdapat dua kemungkinan mengapa tradisi ilmuwan sosial Indonesia meniru Barat; pertama, apa yang dirumuskan sarjana Barat tersebut dipandang secara metodologis dapat berlaku universal, bisa diterapkan dimana saja termasuk Indonesia; kedua, rendahnya tradisi akademis dan spirit untuk mengembangkan ilmu sosial yang sesuai dengan konteks sosio politik dan kultural masyarakat Indonesia, karena itu pilihan yang paling mudah dilakukan oleh para akademisi dan intelektual kita itu adalah meniru teori-teori sosial Barat.

Peniruan ilmuwan sosial Indonesia terjadi dalam konteks ketergantungan terhadap pengetahuan yang diproduksi Barat. Kendatipun sikap meniru itu kuat, namun masih ditemukan sejumlah sarjana kita yang konsisten mengembangkan ilmu sosial yang khas, kepada mereka itu kita harus memberi apresiasi yang tinggi. Usaha mengembangkan ilmu sosial alternatif yang dilakukan Kuntowijoyo dengan memperkenalkan ilmu sosial profetik, Muslim Abdurrahman dengan istilah ilmu sosial transformatif, Abdurrahman Wahid dengan istilah pribuminisasi dan sarjana lainnya memperkenalkan ilmu sosial nusantara, tentu menjadi bagian penting dalam diskursus ilmu sosial Indonesia.

Secara kritis, sarjana kita jauh sebelum diskursus soal ini menjadi bahan diskusi dan perdebatan, Soejatmoko pernah mengkritik teoritisasi masyarakat Jawa yang dilakukan oleh sarjana Barat, padahal watak dan tradisi masyarakat Indonesia merupakan yang khas, berbeda dengan elemen-elemen yang membentuk tradisi masyarakat Barat. Kesadaran intelektual dan upaya untuk menghasilkan ilmu sendiri yang khas telah dipikirkan oleh sarjana terdahulu dengan caranya masing-masing.

Meskipun kesadaran telah ada sejak awal kemerdekaan mengenai pentingnya ilmu sosial yang khas itu, namun pertumbuhan perguruan tinggi yang begitu cepat, para intelektual atau akademisi kita sibuk dengan penataan kelembagaan akademik yang bersifat administratif, melupakan tugas utama untuk menggerakkan agenda mewujudkan suatu keilmuan yang bersifat khas Indonesia. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah menempatkan pengetahuan yang diproduksi intelektual Barat sebagai bahan baku dalam proses pembelajaran, apa yang disebut oleh Alatas sebagai bentuk ketergantungan intelektual, hal itu dapat dilihat dari struktur kebergantungan akademis maupun relevansi ide-ide yang berlatar asing. Kebergantungan pada sponsor-sponsor riset dari negara-negara Barat pada satu sisi barangkali menguntungkan para sarjana yang memperoleh bantuan riset, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran, bahwa riset yang dilakukan akan menyesuaikan dengan pemberi bantuan, misalnya pada pemilihan masalah, desain riset, dan bentuk penerbitan atau publikasi hasil riset.

Muncul ungkapan yang sedikit menggelitik bahwa semakin banyak sarjana kita, semakin miskin karya-karya yang menunjukkan watak dan identitas Indonesia, bahkan semakin massif kampanye teori-teori sosial Barat dalam menjelaskan masyarakat Indonesia. Bentuk ketergantungan itu menurut Alatas terletak pada gagasannya yang mencakup teori ilmiah sosial yakni metateori, teori dan ilmu sosial empiris dan ilmu sosial terapan, sementara produk intelektual Indonesia sendiri tidak ada yang perlu dipelajari. Tingkat kebergantungan yang tinggi kepada Barat tercermin dalam model pembelajaran di berbagai perguruan tinggi, teori-teori yang dihasilkan sarjana Barat dipandang yang paling baik, karena itu penyebaran teori-teori sosial Barat dilakukan dengan berbagai jaringan intelektual di Indonesia, khususnya mereka yang memiliki ikatan tertentu dengan Barat akan terpanggil untuk memberi ruang bagi promosi gagasan itu melalui penerjemahan dan pembelajaran.

Dimensi ketergantungan pada media gagasan termasuk yang paling kuat pengaruhnya, hingga melahirkan kritik dari sejumlah akademisi mengenai hal ini, media gagasan ini mencakup jurnal ilmiah yang bereputasi, penerbitan buku, proseding, konferensi, kertas kerja dan sejumlah publikasi online yang disediakan oleh institusi dan lembaga terkait. Secara umum, publikasi jurnal Amerika dan Eropa menempati posisi tertinggi dari sejumlah publikasi bereputasi internasional, ini kontras dengan publikasi jurnal Indonesia yang memiliki status bereputasi internasional dengan jumlah yang sangat terbatas, padahal jumlah lembaga pendidikan tinggi dan pusat penelitian yang dimiliki Indonesia jauh lebih banyak, ribuan perguruan tersebar, mulai dari pusat kekuasaan hingga ke daerah-daerah telah memiliki universitas, institut ataupun sekolah tinggi.

Bentuk ketergantungan dalam hal publikasi ini yang paling nyata adalah kebijakan pemerintah yang mengatur persyaratan seseorang yang hendak memperoleh jabatan akademik tertinggi yang disebut profesor diharuskan memiliki publikasi internasional yang bereputasi, karena itu menjadi persyaratan utama untuk sampai pada jenjang tersebut dengan memiliki publikasi pada jurnal bereputasi internasional, tentu orientasi utama dari sejumlah dosen dan peneliti yang memiliki harapan menjadi profesor adalah publikasi pada media gagasan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan atau unit yang menyediakan publikasi bereputasi di negara-negara maju. Dalam hal ini, kita harus mengakui bahwa elite negara yang merumuskan kebijakan soal ini memberi apresiasi atas kehebatan media publikasi yang dimiliki Barat, sekaligus mendorong akademisi Indonesia agar dapat mempublikasikan artikelnya pada jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh media asing tersebut. Kalau kita lacak jumlah jurnal yang bereputasi di internet, kita akan menemukan bahwa jurnal yang dikelola oleh Amerika dan Eropa menempati posisi teratas dan jumlahnya bervariasi untuk berbagai disiplin ilmu, khususnya ilmu-ilmu sosial politik.

Kebergantungan pada teknologi pendidikan yang memiliki jejaring luas menliputi berbagai aspek, wilayah, negara dan pusat-pusat informasi yang dimiliki Barat sangat lengkap bila dibandingkan dengan jejaring yang dimiliki lembaga pendidikan kita. Teknologi informasi pendidikan memainkan peranan strategis dalam penyebaran kajian seperti penyediaan informasi dan sumber-sumber utama yang diperlukan bagi akademisi. Persoalan yang dihadapi negara dunia ketiga pada dukungan pembiayaan yang rendah, etos intelektual yang masih memerlukan dorongan untuk menghasilkan teknologi pendidikan yang berkualifikasi tinggi untuk penyebaran ilmu pengetahuan.

Kemudian hal penting lain yang menjadi sumber ketergantungan kita adalah pada bantuan riset dan diklat. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa bantuan riset yang diberikan oleh negara sendiri sangat rendah bila dibandingkan dengan bantuan riset dari negara-negara maju, mereka menyediakan bantuan riset, baik oleh pemerintah maupun instansi non pemerintah, lembaga pendidikan dan yayasan yang secara sukarela mendukung hal tersebut. Bantaun riset dari Amerika, Belanda, Jerman, Jepang, Inggris dan lain sebagainya merupakan kekuatan besar untuk memapankan dominasi negara-negara maju. Kesadaran akan penting riset yang bermutu menjadi satu syarat penting untuk menghilangkan ketergantungan itu, selain itu, riset yang berkualitas memerlukan kesungguhan dari para peneliti melaksanakan tugas itu, tidak hanya sekedar ritual dan rutinitas semata, tetapi memiliki jejak yang kuat untuk pengembangan dan penguatan ilmu sosial.

Demikian halnya dengan ketergantungan pada prestise yang disematkan pada institusi yang dimiliki Barat, misalnya Barat membuka kerjasama dengan lembaga pendidikan di Indonesia untuk kelas tertentu yang menyebabkan sebagian dari obsesi mahasiswa yang ingin mengikuti perkuliahan di luar negeri dapat ditunaikan di negara sendiri tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar. Akhirnya kita juga masih harus mengakui kehebatan Barat dalam merekrut tenaga-tenaga terampil yang dimiliki oleh negara-negara dunia ketiga semacam Indonesia dengan dukungan fasilitas dan berbagai kemudahan dalam kegiatan akademiknya, beberapa informasi soal ini menyebutkan bahwa sejumlah sarjana Indonesia yang sudah menyelesaikan studi di luar negeri (Barat) tidak ingin terburu-buru kembali ke Indonesia, karena penghargaan negara terhadap mereka sangat rendah bila dibandingkan penghargaan Barat terhadap ilmu dan keahlian mereka.

Dalam hal ini, Barat menjadi pusat segalanya yang menyediakan berbagai hal yang berkualitas tinggi bila dibandingkan dengan yang dimiliki bangsa sendiri. Dalam soal riset misalnya, dukungan pembiayaannya sangat rendah yang diberikan negara kepada para peneliti dan dosen untuk menghasilkan karya akademik, ini berbeda dengan dukungan pembiayaan riset apabila mereka mendapatkan bantuan asing (Barat).

Minat sarjana atau calon sarjana Indonesia untuk studi lanjut ke Barat sangat tinggi dengan bantuan beasiswa yang disediakan oleh negara-negara Barat. Kita dapat menyaksikan dan menyimak begitu banyak informasi yang tersedia mengabarkan bahwa tersedia beasiswa untuk lanjut studi ke negara Barat untuk jenjang magister dan doktoral, jumlahnya sangat banyak dan tersebar pada sejumlah negara, baik di Amerika maupun di Eropa. Untuk hal yang sederhana misalnya, negara Australia atau lembaga penyedia beasiswa dari Australia seperti AUSAID menawarkan berbagai beasiswa kepada sarjana Indonesia untuk menempuh program magister dan doktoral, peminatnya sangat tinggi, selain memperoleh dukungan beasiswa, sekaligus dapat memperoleh pendidikan secara langsung dari negara asing. Demikian halnya dengan dari Amerika Serikat yang menyediakan beasiswa kepada calon sarjana dan sarjana yang hendak menempuh program pascasarjana di Amerika.

Ketergantungan sarjana Indonesia pada bantuan beasiswa juga datang dari Jepang, salah negara yang memiliki kemajuan pada bidang ekonomi yang menakjubkan, meski tidak menjadi pusat pengembangan ilmu sosial Asia, Jepang menyediakan beasiswa yang cukup bagi para sarjana Indonesia yang hendak melanjutkan pendidikannya. Jumlah sarjana Indonesia yang menempuh pendidikan di Jepang juga meningkat. Jepang menyediakan beasiswa melalui penyediaan dana riset di Dunia Ketiga yang disalurkan oleh organisasi-organisasi seperti Japan Foundation dan Toyota Foundation. Demikian juga, pemerintah Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda menyediakan beasiswa bagi para sarjana Indonesia, tiap tahun jumlah mereka yang menempuh pendidikan pada negara-negara tersebut mencapai ratusan orang. Wallahu a’lam bi shawab. (*)
Baca Juga
Posting Komentar