Krisis Ruang Aman: Suara Korban tak lagi didengar
“Saya tidak ingin lebih banyak korban. Saya bersuara, setidaknya supaya pelaku mendapat sanksi sosial. Tapi justru banyak yang tidak berpihak kepada saya.” Ujar korban.
Sore itu seperti biasa. Seorang dosen perempuan baru saja kembali dari aktivitas olahraganya. Langkahnya santai menuju tempat tinggal yang disediakan oleh institusi yang ada di lingkungan kampus. Namun tak disangka, ia tidak menyadari seseorang yang ia kenal sebagai rekan sejawat di lingkungan kerja dosen mengikutinya masuk diruang pribadinya
Tak lama setelah itu, situasi berubah. Ia dipaksa masuk ke kamar, dan tak mampu menghindar dari tindakan yang menurutnya tidak seharusnya terjadi. Saat itu, korban memohon agar pelaku menghentikan perbuatannya dengan mengingatkan bahwa pelaku memiliki istri dan korban sedang menstruasi. Dalam kondisi menolak, pelaku tetap melakukannya. Setelah kejadian, dalam keadaan tenang pelaku sempat menyampaikan permintaan maaf karena telah melakukan tindakan itu.
Perempuan itu memilih diam. Bukan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi karena mencoba menempuh jalur yang ia anggap lebih tepat, menyampaikan kejadian ini melalui mekanisme internal kampus. Ia berharap, di tempat yang menjunjung nilai-nilai ilmu dan etika, pengaduannya bisa didengar dan ditindaklanjuti secara bijaksana.
Pihak pengelola kampus merespons dengan memfasilitasi pertemuan mediasi. Dalam pertemuan tersebut, korban mengutarakan harapannya agar pelaku dikeluarkan. Dalam mediasi itu, korban menyampaikan keinginannya bahwa pelaku diberi sanksi, keluar dari tempat tersebut. Namun, keputusan tidak sepenuhnya berada di tangan pihak internal. Permintaan tersebut dikatakan akan dikonsultasikan ke lembaga yang menaungi institusi.
Sayangnya, respons yang diterima korban tidak seperti yang diharapkan. Berdasarkan pengakuan pelaku bahwa mereka memiliki riwayat hubungan pribadi, kasus ini dipandang sebagai sesuatu yang terjadi atas dasar suka sama suka. Korban membantah keras anggapan tersebut. Ia menegaskan bahwa hubungan itu tidak ada dan yang terjadi bukanlah bentuk persetujuan, melainkan pemaksaan.
Waktu berlalu. Keadaan tak kunjung berubah.
bahkan korban menerima ancaman dan intimidasi setelah mengadu ke istri pelaku. Tak ada respon, justru ketakutan terus menerus dirasakan korban. Didampingi orang terdekat dan keluarga, dengan berani ia memutuskan untuk melaporkan kejadian ini ke jalur hukum dan merasa siap dengan segala konsekuensinya.
Keputusan itu tidak datang tiba-tiba. Ia sempat berharap kasus itu dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dengan mempertimbangkan berbagai hal, korban menyebut dirinya akan menanggung malu dan takut tidak ada yang percaya karena tidak memiliki bukti yang kuat, reputasi kerja dan nama baik institusi, juga karena rasa kemanusiaan terhadap istri pelaku yang saat itu baru saja melahirkan anak mereka.
Penyelidikan masih berjalan. Bukti-bukti telah diserahkan, seperti hasil pemeriksaan medis, rekaman suara, hingga dokumentasi ancaman yang diterima. Kepolisian telah melakukan olah tempat kejadian perkara dan baru akan memanggil sejumlah saksi. Walaupun proses hukum memang memerlukan waktu dan ketelitian sesuai prosedur. Namun, hingga saat ini, pelaku belum juga menjadi tersangka.
Korban tak sedang menuntut simpati, melainkan keadilan. Ia menyadari bahwa menjaga nama baik institusi adalah hal penting dan memastikan ruang akademik bebas dari ketakutan adalah amanah yang tak kalah besar.
Kasus ini bukan persoalan biasa, tapi untuk mengingatkan bahwa lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat aman bagi siapa saja yang datang dengan niat belajar dan mengajar. Keamanan itu bukan hanya untuk gagasan, tetapi juga untuk manusia-manusia di dalamnya.
Di ruang ilmu, suara seharusnya tidak dibungkam. Dan keberanian seharusnya disambut, bukan dibungkam dalam nama "institusi".
#AdaTanyaDiBalikDiam
#RuangAmanItuHak
#DengarkanKorban